Kalaulah kerinduan terlepaskan tentu silaturrahim kembali tereratkan. Kalaupun kemudian masih ada yang tanya, setelah kangen-kangenan di Puncak dan berkumpul dengan sahabat yang tak pernah bersua beberapa belas tahun lamanya; lalu apa? Weleh, pertanyaan macam apa pula itu? Toh kita kan memang bukan mau rapat kerja, atau mengikuti simposium. So what ?
Bagaimanapun, Sabtu pagi 28 Februari itu memang agak spesial. Ada keharuan dan kebanggaan terpancar. Ada wajah jarang dijumpai yang hadir. Ada rasa kangen dan ucapan terimakasih yang ingin disampaikan kepada almamater dan para guru. Itu yang dirasakan beberapa almuni angkatan ke-16 Darunnajah di ruangan career center, kampus almamater DN. Ada rasa lain di pagi ceria itu ketika sebelum masuk 2 bis yang disediakan peserta dilepas oleh para wali kelas terdahulu, pimpinan pondok KH. Sofwan Manaf, serta ‘lurah DN’ di era angkatan XVI (1986-1993), Ustadz H. Sulaiman Effendi. Sayangnya, tak semua para mantan wali kelas bisa hadir karena sudah tidak di DN lagi.
‘Tabarruk bil Asatidz’ sebagai tema Lepas Kangen ini menjadi lebih bermakna ketika menjelang tengah malam, tepatnya pukul 22.35 WIB, KH. Mahrus Amin akhirnya berhasil sampai di lokasi, setelah berjuang berjam-jam menerobos jalur macet puncak di malam Minggu itu. Suara beliau yang khas, nasehat penting dan guyonan yang bikin kangen kembali sejuk kami rasakan. Semoga keberkahan dan segala munajat malam itu betul-betul semakin lengkap mengiringi langkah peserta dalam mengarungi kehidupan dunia serta lentera menggapai kebahagiaan akhirat.
Lepas Kangen ke-4 beserta para suami atau istri beserta anaknya dikumpulkan saat itu berjumlah tak kurang dari 140 orang. Itu saja sudah merupakan keberkahan tersendiri bagi yang hadir. Usaha panitia yang berdedikasi tanpa pamrih ternyata tidak sia-sia. Sebagian peserta mungkin sudah menabung sejak 6 bulan sebelumnya (sejak panitia menyurati mereka), agar bisa hadir. Bukan berlebihan ketika kita senang ada teman yang tidak pernah bejumpa, bahkan sudah 15 hingga 19 tahun lalu lamanya. Ada beberapa orang dari Medan, ada dua orang dari Banjarmasin, juga kawan yang lama tak bersua dari Padang ikut hadir. Entah berapa lagi raut-raut muka sobat dari pelosok Jawa yang hadir dan menikmati suasana hingga esok harinya, Minggu 1 Maret.
Apa yang menjadi sorotan dari catatan ini adalah makna Lepas Kangen itu sendiri. Pada kenyataanya, setelah lulus dari almamater DN, kita (setidaknya alumni XVI) saat ini semakin sibuk, seolah bagai robot mengejar segala asa, mengisi tanggungjawab, memenuhi kewajiban. Perjalanan waktu yang tidak singkat menjadikan kita sesama kadang mengalami kebekuan. Ada yang merasa sudah hebat, atau sok hebat. Ada yang merasa masih tertinggal jauh dibanding temannya, padahal belum tentu demikian adanya. Ada yang merasa benar sendiri. Ada yang tenggelam dengan romantisme masa lalu DN, padahal kenyataan hidup saat ini bukan lagi masa-masa OPDN (sekarang OSDN) yang dilalui di sudut-sudut kenangan DN.
Satu hal, ketika kembali bertemu di Lepas Kangen kemarin, segala kebekuan dan sekat-sekat itu kembali cair. Walau kini mungkin tidak seperti lagi (atau mungkin masih sama seperti dulu); bukan hanya dari segi postur tubuh, raut wajah, lebat dan warna rambut di kepala, bahkan cara bicara dan ngocol yang berubah atau tetap seperti dulu. Yang jelas, kemarin itu adalah de javu. Bagaikan keluarga yang kembali menemukan "chemistry of ‘ma’had". Kita kembali cair, tidak ada lagi kebekuan. Seolah-olah ‘salathoh’ ramjad dan suasana sepiring rame-rame kembali siap kita nikmati bersama. Kepedulian dan empati sesama bisa kembali diasah. Kita pun kembali segar, untuk kembali menjadi ‘robot’ menjalani rutinitas; demi tanggungjawab, cita-cita, serta target yang diatasnamakan untuk dunia ataupun demi akhirat.
Bagi sahabat yang yang berhalangan hadir di Lepas Kangen XVI, semoga tetap dapat memetik buah silaturrahim dengan pertemuan setiap tahun (halal bi halal) di Situ Gintung, Ciputat; ataupun rutinitas buka bersama setiap Ramadhan.
Akhrinya, syukron jazilan untuk para asatidz, thanks a bunch untuk panitia yang penuh dedikasi, terimakasih untuk kawan-kawan yang menyempatkan hadir.(Alwis Rustam, 5 Maret 2009)
Ma’a assalaamah ila al-liqaa’