Sabtu, 03 Januari 2009

BORNEO CORNER

Undangan reuni di Sukabumi udah nyampe lewat email dari—dia menyebutnya—DEWAN SYURA: “syuka rokok” kali ya…. Alias staf ahli yang punya Tangerang. Tapi ane kayaknya agak berat untuk datang. Maklum tugas di Borneo terlalu menyita waktu disamping emang berat di transportnya, maklum ane bukan pekerja ‘ illegal loging’ ha ha… Kalau panitia punya program untuk tampil live kayaknya boleh juga tuh…. Tapi, semangat ngumpulnya masih bsa terjaga. Apalagi blog 16 sudh aktif. Bagus lah…. SELAMAT atas blognya. Ane usul akan bikin BORNEO CORNER utk menceritakan hal ihwal dari borneo…

Jumat, 02 Januari 2009

Wawasan

Ini ringkasan tulisan yang saya sumbangkan dalam seminar di kampus gw dengan tema, “KRISIS GLOBAL DOSA SIAPA?

Theater Kapitalisme

Oleh Abdul Mukti Ro’uf, DN-16

Dalam sebuah seminar bertajuk, “Krisis Global, Dosa Siapa?” yang diselenggarakan STAIN Pontianak (Sabtu, 27/12/2008) baru-baru ini, ada upaya untuk menelusuri akar-akar—kalau malah bukan—menggugat ‘paradigma raksasa’, kapitalisme. Lantas banyak orang kemudian dengan sangat ringan mengusung dan mendudukan Islam sebagai antitesa dari kapitalisme. Seolah-oleh—dengan pengatahuan yang sedikit terbatas—kapitalisme dan Islam (ada juga yang menyandingkan dengan sosialisme) berdiri di atas dua lembah yang dipisahkan oleh sebuah jurang yang dalam.
Diskursus tentang kapitalsime versus sosialisme yang kadang-kadang juga memasukan Islam sebagai variabel di dalamnya, hingga kini masih tetap menjadi diskusi yang hangat terlebih ketika dunia sedang dilanda krisis global yang dipicu oleh krisis keuangan di Amerika dimana sistem ekonomi Amerika, Eropa dan sebagian negera berkembang sebagai produk dari kapitalisme.
Tulisan ini hanya ingin menjawab secara singkat terhadap pertanyaan sederhana: mungkinkah kapitalisme dapat digantikan oleh isme lain ataukah yang akan terjadi hanya komodifikasi?
Saya ingin membuat asumsi sederhana terlebih dahulu yaitu bahwa tidak ada isme di dunia ini yang steril dan terjaga kesuciannya dari dinamika kesejarahan manusia. Kapitalisme sebagai sebuah paham (baik ekonomi maupun politik) dengan demikian akan tetap mengalami learning process-nya sendiri. Dengan mengikuti asumsi itu, dapat dikatakan, “tidak ada orang yang benar-benar murni kapitalis” dan “tidak ada orang yang benar-benar murni sosialis”. Jika ingin ditambah, “tidak ada orang yang benar-benar murni islamis” dalam pengertiannya yang ekstrim.
Cara berpikir demikian sepertinya mendapat konfirmasinya ketika globalisasi hadir di tengah-tengah kebudayaan kita. Prof. DR. Irwan Abdullah memberikan contoh btapa cairnya pendefinisian tentang status budaya seseorang atau kelompok: “orang jawa di Mojokuto (Pare) tidak lagi dengan mudah dapat mengidentifikasi tetangganya sebagai “abangan” atau “santri” maupun “priyayi” baik yang dulu disebut sntri sekarang telah menjadi priyayi (priyayinasi santri) atau yang dulu disebut priyayi sekarang telah menjadi santri (santrinisasi priyayi)”. (Abdullah: 2008). Sahabat saya DR. Khalid Al-Walid, pemikir muda yang lama belajar di Iran membuat pertanyaan yang senafas: “adakah orang syi’ah yang benar-benar syiah atau adakah orang sunni yang benar-benar sunni”?
Karena itu, ketika kita hendak, katakanlah menggugat kapitalisme, maka tujuannya bukan hendak meratakan kapitalisme di muka bumi melainkan agar ia bergeser ke arah keseimbangan baik terhadap siklus ekologi maupun dalam relasi sosial-ekonomi antar umat manusia. Dalam format politik misalnya, ikhtiar Anthony Giddens dengan paradigma The Third Way-nya, yang kemudian dianut oleh pemerintahan Tony Blair di Inggris menunjukkan bahwa manusia abad kini tidak bisa keluar dari ‘paradigma kanan’ (kapitalisme) dan ‘paradigma kiri’ (sosialisme). Dalam doktrin Islampun, di dalamnya memiliki elemen ‘kapitalisme’ seperti perintah untuk menjadi orang kaya dan memiliki elemen ‘sosialisme’ seperti konsep zakat. Karena itu, dari dulu, Islam selalu dipandang sebagai, “The Center Way” (khair al-UmĂ»r awsathuhâ)
Apa yang salah dari kapitalisme?
Kapitalisme biasanya dituduh bersalah karena menyediakan conceptual frame work yang menggerakan ‘semangat asal untung’ dengan basis materialisme. Artinya, kualitas hubungan sesama manusia dan manusia dengan alam bersifat materialistik. Simaklah sepak terjang ekonomi mutakhir. Watak perekonomian dunia saat ini dicirikan oleh beberapa hal: peredaran uang yang makin melaju dan melebihi peredaran barang dan jasa; bentuk-bentuk alokasi uang yang melipatkan uang dalam waktu cepat tanpa harus secara produktif menghasilkan barang dan jasa; upah buruh pabrik yang makin jauh perbandingannya dengan keuntungan yang diperoleh per satuan produk yang dihasilkan.
Fakta-fakta tersebut mengiringi fakta-fakta lain dari perekonomian global seperti arus informasi dan teknologi yang makin cepat, mobilisasi modal, barang, orang yang melewati batas-batas negara, dan pola konsumsi tinggi dari golongan masyarakat menengah ke atas. Sebagian dari para ekonom mengatakan bahwa fakta-fakta demikian menjadi trade mark dan watak dari sistem kapitalisme global (Hudson, 1988)
Implikasi yang dapat disebut dan dirasakan akibat cara kerja kapitalisme global semacam itu antara lain: intensifikasi kompetisi yang amat tinggi, pengabaian pencapain kesejahteraan bersama, hancurnya ikatan-ikatan sosial, pencarian rente, dan lenyapnya etika bisnis dalam hubungan-hubungan bisnis (Hudson, 1988, Cooke, 1990, and Eisenschitze, 1996).
Adakah jalan alternatif?
Apakah dengan krisis global yang sedang dialami dunia akhir-akhir ini dapat dikatakan bahwa kapitalisme telah meredup dan karenanya ia sedang menjemput ajalnya? Lalu dengan mudah dan sederhana kita mengatakan, “kapitalisme di ujung kematian dan Islam di depan mata”? Andaikan kita percaya dengan asumsi yang dibangun di atas, maka slogan seperti itu hanya dapat membangunkan emosi tanpa dapat meyakinkan secara paradigmatik tentang jalan baru pasca-kapitalisme.
Sebagai bukti, banyak wilayah keagamaan yang tidak dapat mempertahankan sifat esensialnya karena interfensi pasar sebagai ciri dari kapitalisme. Fenomena “Haji Plus” adalah contah paling seksi betapa kekuatan pasar (the power of market) dengan mudah menjajah sakralitas haji menjadi hanya sebuah fenomena wisata dengan fasilitas yang semakin bersaing dan ajang pertarungan bisnis antar sesama biro travel. Makanan cepat saji seperti MC Donald sebagai produk dari kerja kapitalisme, dapat dengan mudah ‘mengelabui’ masyarakat agama hanya dengan sertifikat halal dari MUI. Lantas dengan cara apa Islam melawan kapitalisme?
Lagi-lagi, andaikan kita percaya dengan asumsi di atas, maka, jangan-jangan, yang dapat dimungkinkan adalah melakukan “islamisasi” kapitalisme seperti “santirinisasi priyayi”. Seperti juga yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, memasukkan cerita Islam dalam pewayangan dalam tradisi Hindu. Akhirnya, kisah kapitalisme tidak berujung pada kematian. Yang ada adalah tukar menukar ‘nyawa’. Wallahu a’lam